Hidrokarbon

Label:



Hidrokarbon yang paling sederhana adalah alkana, yaitu hidrokarbon yang hanya mengandung ikatan kovalen tunggal. Hidrokarbon merupakan senyawa yang struktur molekulnya terdiri dari hidrogen dan karbon. Molekul yang paling sederhana dari alkana adalah metana. Metana berupa gas pada suhu dan tekanan baku, merupakan komponen utama gas alam (Wilbraham, 1992).
Hidrokarbon dapat diklasifikasikan menurut macam-macam ikatan karbon yang dikandungnya. Hidrokarbon dengan karbon-karbon yang mempunyai satu ikatan dinamakan hidrokarbon jenuh. Hidrokarbon dengan dua atau lebih atom karbon yang mempunyai ikatan rangkap dua atau tiga dinamakan hidrokarbon tidak jenuh (Fessenden, 1997).


Hidrogen dan senyawa turunannya, umumnya terbagi menjadi tiga kelompok besar yaitu:
1. Hidrogen alifatik terdiri atas rantai karbon yang tidak mencakup bangun siklik. Golongan ini sering disebut sebagai hidrokarbon rantai terbuka atau hidrokarbon siklik. Contoh hidrokarbon alifatik yaitu : C2H6 (etana) CH3CH2CH2CH2CH3 (pentana)
2. Hidrokarbon alisiklik atau hidrokarbon siklik terdiri atas atom karbon yang tersusun dalam satu lingkar atau lebih.
3. Hidrokarbon aromatik merupakan golongan khusus senyawa siklik yang biasanya digambarkan sebagai lingkar enam dengan ikatan tunggal dan ikatan rangkap bersilih–ganti. Kelompok ini digolongkan terpisah dari hidrokarbon asiklik dan alifatik karena sifat fisika dan kimianya yang khas (Syukri, 1999).
Sebagai hidrokarbon jenuh, semua atom karbon dalam alkana mempunyai empat ikatan tunggal dan tidak ada pasangan elektron bebas. Semua elektron terikat kuat oleh kedua atom. Akibatnya, senyawa ini cukup stabil dan disebut juga parafin yang berarti kurang reaktif (Wilbraham, 1992).
Karbon-karbon dari suatu hidrokarbon dapat bersatu sebagai suatu rantai atau suatu cincin. Hidrokarbon jenuh dengan atom-atomnya bersatu dalam suatu rantai lurus atau rantai yang bercabang diklasifikasikan sebagai alkana. Suatu rantai lurus berarti dari tiap atom karbon dari alkana akan terikat pada tidak lebih dari dua atom karbon lain. Suatu rantai cabang alkana mengandung paling sedikit sebuah atom karbon yang terikat pada tiga atau lebih atom karbon lain (Fessenden, 1997).
Alkana rantai lurus:
CH3 – CH2 - CH3
Alkana rantai cabang
CH3 – CH – CH2 – CH3
CH3


Senyawa berbobot molekul rendah berwujud gas dan cair, dan zat yang berbobot molekul tinggi berwujud padat. Alkana merupakan zat nonpolar, zat yang tak larut dalam air dengan kerapatan zat cair kurang dari 1,0 g/ml. Selain alkana juga ada alkena yaitu hidrokarbon yang memiliki satu atau lebih ikatan rangkap dua karbon–karbon. Senyawa ini dikatakan tidak jenuh karena tidak mempunyai jumlah maksimum atom yang sebetulnya dapat ditampung oleh setiap karbon (Pettruci, 1987).
Hidrokarbon alifatik berasal dari minyak bumi sedangkan hidrokarbon aromatik dari batu bara. Semua hidrokarbon, alifatik dan aromatik mempunyai tiga sifat umum, yaitu tidak larut dalam air, lebih ringan dibanding air dan terbakar di udara (Wilbraham, 1992)
Alkana yang merupkan hidrokarbon tak jenuh yang berasal dari aldehid dapat direaksikan dengan asetaldehid, logam Zn dan dalam suasana asam ditambahkan H2SO4, setelah dilakukannya penambahan H2SO4 maka terjadi perubahan warna berubah menjadi coklat kehitaman, pekat logam Zn yang adapun menjadi larut akibat pengaruh H2SO4. Reaksi ini dinamakan Reduksi Clemensen, adapun reaksinya sebagai berikut:

CH3 – C – H Zn + H2SO4 C2H6


Logam Zn disini berfungsi sebagai reduktor, sedangkan H2SO4 pekat berfungsi sebagai oksidator. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan warna. Asetaldehid merupakan golongan dari aldehid yang mudah tereduksi menjadi senyawa dengan jumlah atom yang sama banyaknya. Logam Zn yang ditambahkan berfungsi sebagai reduktor (mengalami oksidasi), sedangkan larutan H2SO4 pekat sebagai oksidator (mengalami reduksi).
misi gas yang mempunyai pengaruh terhadap kesehatan manusia dan juga pemanasan global seringkali tidak merupakan prioritas dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh banyak negara di dunia. Sebenarnya seberapa parahkah akibat yang ditimbulkan emisi gas ini dapat kita telusuri berikut ini.
Sejatinya, emisi gas yang berasal dari hasil bakaran dalam kegiatan manusia merupakan konsekuensi kehidupan sehari-hari di planet bumi ini. Emisi gas yang terjadi, pun bukan semata-mata berasal dari kegiatan manusia, tapi juga dari proses alami. Misalnya, pada pernafasan daun, letusan gunung berapi, proses kehidupan alamiah di hutan, kebakaran spontan dalam hutan, dan proses biokimia yang terjadi di rawa. Gas yang diemisikan secara alami ini, menurut Dr. dr. Rachmadhi Purwaka SKM dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta, merupakan bagian dari proses daur ulang yang selalu terjadi secara dinamik dalam rangka menuju keseimbangan alamiah.
“Selama jumlah emisi gas hasil bakaran itu masih dalam batas-batas kesanggupan alam mendaur-ulangkan kembali, emisi gas tidak akan mengganggu secara nyata kehidupan di bumi. Namun, apabila peningkatan gas akibat kegiatan manusia telah melampau kepasitas daur ulang alami, tentu saja menyebabkan penumpukan gas, tidak hanya pada lingkungan mikro, tetapi juga telah menyebabkan goyahnya keseimbangan lingkungan makro, di antaranya dalam bentuk pemanasan global yang secara tidak langsung berakibat pada kesehatan masyarakat,” ungkap Rachmadhi.
Di samping efek gas yang tidak langsung itu, jenis-jenis kandungan gas emisi itu pun berpotensi menimbulkan akibat secara langsung terhadap kesehatan masyarakat.
Kehadiran beberapa komponen gas emisi yang terbentuk dari kendaraan bermotor (gas karbon monoksida, gas nitrogen, dan gas gas-gas nitrogen oksida, serta gas-hidrokarbon) dan ini merupakan bahan xenobiotic (zat asing bagi tubuh manusia), juga menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan pada manusia secara langsung. Karbon monoksida, misalnya, akan menimbulkan gangguan pada sistem pengangkutan oksigen dalam tubuh. Gas-gas nitrogen oksida merupakan gas yang berpotensi menurunkan imunitas tubuh, dan gas-gas hidrokarbon, jelas dapat menimbulkan iritasi, gangguan sistem tubuh dan kanker.
Pemanasan Global
Menurut Rachmadhi, pemanasan global mulai disadari ketika kira-kira pada dekade 1960-an sampai 1970-an, para ahli dihadapkan dengan data mengenai terhentinya pendinginan udara. Sebelumnya, bumi mengalami pendinginan dengan laju setengah derajat setiap tahunnya. Tetapi, proses pemanasan global yang ketika itu terdeteksi di belahan bumi bagian utara, menyebabkan proses pendinginan bumi terhenti. Sejak itu, kondisi ini berlanjut dengan pemanasan global yang menjurus kepada peningkatan suhu udara.
Para ahli yang tergabung dalam badan the National Oceanographic and Atmospheric Administration di Amerika Serikat, lalu percaya bahwa pemanasan global terjadi akibat penumpukan gas karbon dioksida di atmosfir lapisan atas sebagai hasil bakaran dalam kegiatan manusia. Kehadiran gas karbon dioksida dalam jumlah yang banyak ini seakan menjadi peredam bagi albedo atau derajat refleksi bumi terhadap sinar matahari yang memungkinkan bumi terhindar dari panas yang berlebihan. Refleksi bumi terhadap sinar matahari itu terjadi karena pemantulan sinar matahari oleh partikel-partikel debu, awan, permukaan air, hamparan salju, dan es.
Di samping gas karbon dioksida, beberapa gas lain juga diketahui turut dalam pemanasan global itu. Gas-gas yang dimaksud, antara lain, gas ozon yang terdapat pada atmosfir lapisan bawah, gas metana, gas-gas klorofluorokarbon, gas-gas nitrogen oksida, dan uap air. Awan yang merupakan penangkis sinar matahari pemanas bumi, ternyata juga menghalangi pelepasan panas yang dipantulkan bumi sehingga turut berperan dalam proses pemanasan global.

Menurut Rachmadhi, diketahui bahwa karbon dioksida mempunyai kontribusi terbesar dalam pengaruhnya terhadap pemanasan global, yaitu sebanyak 49 persen, sedangkan gas metana hanya 18 persen, gas-gas klorofluorokarbon 14 persen, gas-gas nitrogen oksida 6 persen, dan gas-gas lainnya sebesar 13 persen. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari segala macam gas penyebab terjadinya pemanasan global, gas karbon dioksida merupakan gas yang paling membahayakan. Sebaliknya, pemanasan global oleh gas karbon dioksida melalui greenhouse effect itu, merupakan prakondisi bagi kehidupan manusia dan kebanyakan hewan. Seandainya proses ini tidak terjadi, suhu rata-rata udara di permukaan bumi adalah minus 20 derajat Celcius.
Namun, dalam periode waktu belakangan ini, bumi mendapat pasokan berlebihan gas-gas itu. Pembakaran hutan dan bahan bakar fosil, kegiatan industri, pembangkit tenaga, dan emisi kendaraan bermotor mengkontribusikan gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya ke atmosfir. “Pemasokan gas-gas ini terjadi secara berlebihan dan terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu”, tegasnya.
Akibat Adanya Peningkatan Jumlah Manusia dan Pembangunan
Peningkatan jumlah manusia dan aselerasi pembangunan yang mengiringinya, menimbulkan tuntutan tersedianya bahan pangan yang berlipat-lipat kali banyak dibanding masa-masa lalu. Pola bercocok tanam tradisional tidak sanggup lagi memenuhi desakan kebutuhan pangan dunia, sehingga pola pertanian mengalami revolusi yang memaksa terjadinya penebasan hutan untuk keperluan lahan bercocok tanam dan tempat hunian.
Dengan pembukaan lahan pertanian yang menyebabkan dibongkarnya hutan penyerap gas karbon dioksida melalui proses asimilasi, peningkatan kadar gas karbon dioksida di atmosfir menjadi lebih tak terkendali. Dalam keadaan biasa hutan dan tumbuhan pada umumnya merupakan salah satu unsur yang berperan mentranformasikan gas karbon dioksida menjadi bahan-bahan keperluan pertumbuhan bagi tanaman dalam daur-ulang karbon. “Menurut perkiraan, bila kondisi lain mendukung, diperlukan tanaman 20 milyar pohon setiap tahun untuk dapat menyerap 67 persen emisi tahunan gas karbondioksida di Amerika Serikat,” katanya.
Di samping karbon dioksida, gas-gas klorofluorokarbon, yang merupakan kelompok gas buatan manusia, juga mempunyai pengaruh terhadap dalam pemanasan global. Gas-gas klorofluorokarbon bukan merupakan emisi gas hasil bakaran kegiatan manusia. Kelompok gas ini dibuat untuk beberapa keperluan, di antaranya, sebagai bahan pendingin (diklorodifluorometana atau freon), bahan pelarut dalam industri, bahan pencuci komponen elektronik, bahan tambahan pada cat yang mudah menguap, bahan pembuatan karet busa plastik (karet busa poliuretana), dan tabung semprot aerosol. “Walaupun jumlah gas klorofluorokarbon jauh lebih sedikit daripada jumlah gas karbon dioksida, setiap molekul gas klorofluorokarbon berpotensi menimbulkan greenhouse effect sebesar 10 ribu kali dibandingkan dengan molekul gas karbon dioksida,” tegasnya.

Sekali masuk ke atmosfer, gas klorofluorokarbon dapat bertahan antara 75 tahun sampai dengan 110 tahun. Sementara berada di sana, gas ini akan beraksi melenyapkan gas ozon perisai pelindung bumi terhadap sinar matahari berlebihan. Akibat kelebihan sinar matahari ini berpengaruh terhadap timbulnya perubahan-perubahan pada iklim, kehidupan satwa dan flora. Fitoplankton dan algae bahan makanan untuk ikan dimatikan oleh sinar matahari berlebih ini. Akibatnya, penyerapan gas kardon dioksida oleh banyaknya flora air yang mati ini pun turut berkurang.
Pemanasan global berlebihan merupakan juga proses yang menimbulkan beberapa efek pada faktor lingkungan kehidupan manusia, seperti kemungkinan pencairan gunung-gunung es yang akan menenggelamkan beberapa bagian daratan, perubahan iklim yang berakibat pada kelangkaan pangan penduduk. Lanjutan akibat yang perlu diperhitungkan adalah terjadinya migrasi penduduk bumi seperti yang terjadi pada zaman es di masa purbakala dengan potensi kekacauan sosial umat manusia secara global.
Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5°C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.

0 komentar:

Posting Komentar